Benang untuk Seragam SMA Gue

Akhir pekan kemarin, gue menyempatkan diri untuk datang ke sebuah acara wisuda di Balairung Universitas Indonesia. Sebenarnya gue cuman diajak menemani salah seorang sahabat gue untuk bertemu mantan pacarnya yang saat itu menjadi peserta wisuda. Detik itu juga gue langsung teringat ke salah seorang mantan pacar gue yang juga menjadi peserta wisuda.
            Sehabis cukup lama mencari-cari di tengah ribuan orang, sosok yang dinantikan akhirnya ketemu juga. Yaitu mantan pacar gue. Amanda namanya. Dia muncul dari kerumunan peserta wisuda lainnya. Bersama pacar barunya. Setelah dikenalkan secara singkat, gue ngobrol-ngobrol sedikit bersama Amanda. Mengucapkan selamat, serta bertanya ini itu. Sekejap, bayangan di otak gue kembali ke masa lalu. Di saat gue pertama kali bertemu Amanda. Di saat gue pertama kali kenal Amanda. Di saat gue menjadi pacarnya Amanda. Di saat gue putus dengan Amanda. Dan berbagai cerita lainnya yang pernah terjadi antara gue dengan Amanda.

***
           
            SMA gue terletak di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. SMA N 33. Di SMA gue tersebut, terdapat komposisi siswa yang tidak seimbang. Hampir sekitar 60% berasal dari SMP N 45. Termasuk gue. Memang kalau kita lihat di peta, letak SMA gue dengan SMP gue terbilang sangat dekat. Cukup dua kali salto juga udah sampe. Jadilah gue bertemu dengan orang yang itu itu melulu. Lo lagi lo lagi. Mulai dari MOS, sampe mulai belajar reguler di kelas, gue bertemu dengan orang yang sehari-hari gue bertemu di SMP. Rada bosen juga sih sebenarnya, ditambah temen gue yang duduk sebangku sama gue adalah temen gue juga waktu SMP. Begitu juga dengan temen-temen di sekitaran bangku gue. Di depan, di samping, semua orang-orang yang udah gue kenal. Rasanya kurang greget aja kalo bertemu dengan orang yang sama.
            Hingga tiba-tiba Wali Kelas gue memerintahkan untuk saling bertukar tempat duduk. Diwajibkan untuk duduk berselang seling antara murid cewek dan murid cowok. Jadi misalnya yang duduk di barisan paling depan adalah murid cowok, di belakang dan samping murid cowok itu adalah murid cewek. Begitu seterusnya. Katanya sih biar anak muridnya enggak pada ngobrol. Tapi tanpa sepengetahuan Wali Kelas, gue justru seneng kalo ngobrol dengan cewek. Biar tau sudut pandang mereka kalau berpikir itu seperti apa.
            Pada umumnya murid bandel, gue duduk di barisan bangku paling belakang. Karena kebetulan gue berjenis kelamin cowok (terakhir gue cek sih masih cowok), murid yang duduk di depan bangku gue diwajibkan murid cewek. Hingga akhirnya Amanda beserta teman sebangkunya, Riska, duduk di depan bangku gue. Amanda dan Riska ini berasal dari SMP yang berbeda dengan gue. Lumayan lah ada kenalan orang baru. Setidaknya ada bahan obrolan lain selain ngebahas kalo gue pernah boker di celana waktu study tour SMP dan gue pernah jatoh dari Tangkuban Perahu.
            Awalnya gue merasa asing. Dia juga begitu. Bahkan dia sempat merasa gue dan temen sebangku gue, Wahyu, adalah pembuat masalah di kelas. Berisik, sering nyanyi teriak-teriak, enggak pernah ngerjain PR, sering diomelin guru, kekanak kanakan, enggak pernah serius, pokoknya sangat jauh dari cap seorang murid teladan. Gue malah dicap seorang murid bau badan.

***
           
            Tujuh belasan menjadi momen yang mendekatkan antara gue dengan murid sekelas. Termasuk juga dengan Amanda. Gue mulai sering bercanda tawa dengan dia dan juga teman-temannya. Seperti saat lomba menghias kue. Gue turut berkontribusi untuk ikutan lomba tersebut. Yaitu dengan cara cicip mencicipi. Itu termasuk tugas penting loh ! kalau rasa yang ditimbulkan enggak enak, tentu saja kelas gue enggak bakalan menang. Tapi pengetahuan gue soal cita rasa makanan rupanya sangat terbatas. Yang gue tahu cuman enak, dan enak banget. Kelas gue pun kalah. Tapi gue semakin dekat dengan Amanda.
            Event class meeting juga mendekatkan gue dengan Amanda. Selagi gue beraksi di lapangan futsal, Amanda beserta teman sekelas rela mendukung tim gue mati-matian. Bukan karena apa-apa, tapi karena belum pada kenal dengan kelas lain aja. Tim kelas gue cuman berhasil meraih peringkat empat. Tapi itu sudah cukup bagus untuk ukuran pemula bagi ukuran murid kelas X. Pikiran gue saat itu selain makanan, gue juga berpikir untuk menjadikan Amanda sebagai pacar gue. Gue mau nembak dia. Gue bakalan nunggu hingga dia selesai latihan teater. Kebetulan memang Amanda ikut ekstra kulikuler teater. Sedangkan gue ikutan futsal. Karena yang gue bisa ya cuman main futsal. Itu juga karena gue sering main game Winning Eleven di PlayStation.
            Selesai dia latihan teater, gue memutuskan akan menembak dia di pinggiran lapangan sekolah, di dekat tiang basket. Gue segenap jiwa raga menyiapkan mental ini. Fisik yang cukup kuat, dan latihan menghadapi kenyataan kalau gue akan ditolak nanti. Amanda mau gue ajak ngomong berdua di bawah tiang basket. Tapi berkat gue yang terlalu cemen, gue enggak jadi ngomong pada hari itu. Amanda sendiri cuman kebingungan atas apa yang mau gue omongin pada saat itu. Gue pun memutuskan akan menembaknya di lain kesempatan. Enggak perlu waktu cukup lama, gue akan segera menembaknya keesokan harinya seusai pulang sekolah di dalam kelas. Seperti kejadian yang sebelumnya, gue enggak berani nembak dia. Sekitar satu jam berdiam diri, gue akhirnya melontarkan kata-kata maut, “Gue sayang sama lo. Lo mau enggak jadi pacar gue ?”. Yap ! Cukup bijak dia menjawab, “Maaf, gue enggak bisa nerima lo.”. Singkat. Padat. Sakit. Jleb. Gue. Ditolak.

***

            Hari-hari berlalu terasa begitu cepat. Sementara dia tetap duduk di depan bangku gue. Gue hanya bisa menatap pundaknya dari belakang dengan tatapan nelangsa. Dia. Wanita. Yang. Pernah. Nolak. Cinta. Gue. Semua pelajaran yang diberikan guru rasanya sangat sulit buat gue pahami. Bukan, bukan karena efek ditolak, tapi karena gue emang anaknya malas belajar aja makanya jadi susah ngertiin pelajaran. Kemudian gue berpikir, mungkin karena gue orangnya kurang pengertian, makanya gue waktu itu ditolak Amanda. Tetapi biarlah, waktu terus berjalan, dan tidak terpengaruhi oleh kejadian menyakitkan yang terjadi.
            Tanpa gue sadari, salah seorang teman di kelas gue ternyata ada juga yang suka dengan Amanda. Dia juga menembaknya. Dan. Dia. Diterima. Cintanya. Diapun berpacaran.
            Rasa sakit yang ada di hati gue nyatanya semakin menjadi-jadi. Untungnya gue punya kemampuan menyembunyikan perasaan yang cukup hebat. Gue tetep berteman dengan Amanda dan pacarnya itu. Kita juga sering berpergian bersama-sama. Mulai dari nonton film di bioskop, main ke rumah teman, hingga ke Ancol. Melihatnya berpacaran di depan muka, gue merasa biasa-biasa saja. Tapi satu yang menjadi tanda tanya besar di otak gue. Kenapa waktu itu gue ditolak tapi dia bisa nerima temen gue ? Setelah dipikir dengan matang, ternyata temen gue itu lebih pinter dan lebih kaya dari gue. Saat itu gue menjadi sangat pesimis dalam urusan cinta. Ditambah temen gue si Wahyu bilang seperti ini, “Mungkin dia nolak lo gara-gara lo enggak punya motor kali Yam. Kan kalo mau pergi-pergi jadi bingung.” Gue mikir sejenak, dan gue cuman menganggap bahwa Amanda tahu yang terbaik buat dia. Dan itu bukan gue.

***

            Lima bulan mereka berpacaran, pada akhirnya putus juga. Gue kembali merasa ada kesempatan apabila gue mau mendekati Amanda lagi. Ada suatu moment di saat pelajaran kesenian, setiap murid diwajibkan untuk menyanyi secara karaoke dengan membawa kaset atau CD masing-masing. Gue yang memang cekak kalo buat ngapalin lagu berbaha inggris, memutuskan untuk menyanyikan lagu I Love U Bibeh dari The Changcuters dan dia menyanyikan lagu Oh Baby dari Cinta Laura. Gue inget di saat gue nyanyi, gue memang menggesturkan gerak tubuh dan nyanyian gue buat Amanda. Begitu juga dia pada saat menyanyikan lagu pilihannya. Tapi rasanya sih ke-GR-an kalo gue nganggep yang dia nyanyiin itu khusus untuk gue.
            Semester dua telah habis. Musim kenaikan kelas telah tiba. Gue masuk di jurusan IPS, sedangkan dia di jurusan IPB. Selama liburan, gue gencar mengadakan pendekatan dengan Amanda. Hingga akhirnya gue memutuskan untuk menembaknya yang kedua kalinya. Kali ini gue diterima.
            Dia ulang tahun. Gue asik makan nasi katsu di kantin. Sampai akhirnya dia selesai diguyur dan ditepokin telor baru gue menghampiri dia dan sok-sokan melindungi dia dari cercaan teman-temannya yang sedang mengerjai dia. Padahal gue akhirnya ikut-ikutan mengguyur dia pake air kolam. Gue memang paling bingung buat ngasih kado ke seorang cewek. Ujung-ujungnya gue cuman ngasih dia kado gantungan kunci berbentuk ayam agar dia selalu mengingat gue.
            Terbilang sangat singkat, dua minggu gue berpacaran dengan Amanda, dan dia akhirnya meminta putus tepat sebelum gue berangkat sholat teraweh (kebetulan itu memasuki bulan suci puasa). Hari Seninnya, gue pergi ke rumahnya usai sekolah. Gue ingin medapat penjelasan kenapa dia memutuskan gue secara sepihak. Ternyata dia merasa lebih enak menjadi teman. Memang, terkadang sebuah hubungan pertemanan yang baik dapat runtuh ketika memasuki fase berpacaran. Masa-masa tanpa jaim saat berteman, menjadi berubah 180 derajat saat menjadi pacar. Masa-masa saling curhat dengan cueknya, berubah menjadi lebih tertutup satu sama lain saat menjadi pacar. Yang hebat itu, ketika kita berpacaran, tetapi kita tetap bersahabat selayaknya teman dengan embel-embel label ‘pacar’.
            Kehidupan gue setelah putus dengan Amanda mendadak kacau kembali. Gue jadi susah tidur kecuali ngantuk. Tetapi layaknya cinta-cintaan seorang ABG, gue balikan lagi sama dia. Hubungan gue sebenarnya sering mengalami putus nyambung. Tetapi kita selalu punya benang untuk merajut hubungan kita kembali.

***

            Suatu saat, gue mendapat kesempatan untuk menjadi crew teater SMA gue. Tentunya yang di dalamnya ada Amanda yang berakting sedangkan gue kebagian sebagai penebar asap. Gue dipercaya buat jadi spesialis efek asap yang keluar pada saat pertunjukan. Jadi kalo pas pertunjukan ada asap keluar, nah! itu kerjaan gue. Tapi bukan berarti kalo ada kebakaran itu kerjaan gue loh ya.
            Hal penting di sini bukan bagaimana gue bertugas sebagai penebar asap. Bukan juga Amanda yang berakting dalam pertunjukan tersebut. Apalagi tentang gue yang berhasil bolos sekolah seharian karena pertunjukan teater ini bersamaan dengan hari sekolah. Tapi tentang satu hari penuh yang gue isi bersama Amanda. Banyak hal yang kita lalui bersama. Mulai dari melakukan hal-hal yang berkaitan dengan teater, makan siang, belajar Bahasa Jepang bareng, cerita ini itu, pulang bareng, rasanya hari itu menjadi harinya gue dengan Amanda. Kalo dijadikan judul acara tv, seperti “Satu Hari Bersama Amanda”. Satu hari terbaik yang pernah terjadi dalam hidup gue. Karena hari-hari gue yang lainnya penuh dengan kenistaan.

***

            Gulungan benang yang kita punya ternyata tidak sepanjang yang kita bayangkan. Banyak gulungan benang yang mendadak kusut sehingga susah untuk diluruskan. Jalan satu-satunya yang kita punya adalah dengan memutuskan benang tersebut dengan berharap ada benang lain yang bisa kita jadikan kain dengan lebih indah. Atau bisa disebut juga benang yang kita punya sudah mencapai gulungan terakhir. Sehingga mau tidak mau kita harus mencari sebuah gulungan benang pengganti.
            Kita semakin sering menemukan ketidakcocokan dalam hubungan kita. Dia sering ngambek dengan beberapa alasan yang tidak jelas. Seperti pada suatu saat ketika gue sehabis tanding futsal antar kelas di sekolah. Ceritanya gue jadi kapten. Padahal sih gue cuman ngewakilin kelas gue buat suit aja untuk menentukan siapa yang berhak mendapat kick off  pertama. Sayangnya kelas gue kalah. Ketika selesai bermain, gue beserta tim gue istirahat di dalam kelas sambil membicarakan mengapa kami tidak bisa menang (dibaca: kok kita goblok banget sih bisa kalah?). Amanda yang melihat gue kecapekan, dengan baik hati memberikan gue sebotol air minum dingin. Gue minum seteguk demi seteguk. Dengan gue yang masih dianggap sebagai kapten tim (gue sendiri yang nganggep), gue dengan berjiwa pahlawan memberikan air minum gue kepada teman setim gue yang lain. Amanda melihatnya. Dia marah. Katanya dia khusus memberikan minum itu buat gue. Tapi gue malah ngasih minuman itu ke temen-temen gue yang lain.
            Gue sendiri malas-malasan untuk mengabari dia. Lama kelamaan penyakit lama gue muncul. Yaitu cepat bosan. Gue mulai merasa hubungan kita sudah tidak seindah dulu. Gue memutuskan untuk tidak membalas SMSnya. Dia marah. Gue minta break yang dalam kata lain putus tetapi secara sopan. Atau dalam kata lainnya lagi, pengen putus tapi enggak putus-putus banget. Dia makin marah. Tapi kita resmi putus.
            Putus bukan berati putus segalanya. Putus bukan berarti putus seutuhnya. Putus sebagai seorang kekasih, tapi gue dan Amanda tetap sahabatan. Karena kita awalnya memang seorang sahabat. Kita hanya ingin mengekspetasikannya lebih tinggi saja. Dengan embel-embel kata ‘pacar’. Mungkin awalnya memang berat untuk meninggalkan embel-embel ‘pacar’ tersebut. Tetapi dengan sama-sama mendapat seorang pacar baru, kita jadi bisa melupakan embel-embel tersebut satu sama lain.

***

            Kelas XII, gue punya pengganti Amanda. Dia juga udah punya pengganti gue. Meskipun para pengganti itu tidak berlangsung lama. Sebenarnya masing-masing dari kita masih mengharapkan adanya benang baru untuk kita rajut bersama kembali. Sayangnya benang tersebut tidak pernah dapat kita temukan keberadaannya. Mungkin di lain kesempatan kita dapat menemukan keberadaan benang itu. Tetapi tentunya tidak dengan embel-embel yang sama. Embel-embel sahabat misalnya. Tetapi embel-embel Gembel kayanya lebih tepat buat gue.
            Lagi, di kelas XII, gue sebenarnya tergolong sebagai manusia yang kreatif. Dapat dilihat dari gue yang suka melakukan hal-hal yang tidak pada biasanya. Seperti memakai jam di tangan kanan. Padahal sih bukan karena kreatif, tapi karena lebih nyaman aja. Tapi orang tua kebanyakan menyebutnya gue sebagai orang yang kreatif. Karena kekreatifan yang gue punya itu, gue dipilih oleh ketua kelas gue sebagai kordinator BTS (Buku Tahunan Sekolah) untuk kelas gue. Sebuah kegiatan yang gue rasa dapat memancing kekreatifan gue dan juga sebagai salah satu obat menghilangkan keresahan gue untuk menemukan sebuah benang.
            Rapat BTS pertama dilakukan di dalam kelas gue seusai pulang sekolah. Perwakilan dari setiap kelas turut hadir. Ada Renita dari perwakilan kelas XII IPA I, ada Zaza perwakilan dari kelas XII IPA II, ada Lala dari kelas XII IPS I, ada Evi dari kelas XII IPS II, ada seorang ganteng (gue) dari kelas XII IPS III, dan Amanda dari kelas XII IPB. Yap, Amanda juga terpilih sebagai kordinator kelasnya. Yang di mana gue diharuskan bekerja sama selama beberapa bulan bersama Amanda. Seseorang yang pernah memiliki cerita dengan gue.
            Seperti dapat ditebak, gue justru semakin dekat dengan Amanda. Berbagai rapat yang kita lakukan, kegiatan foto untuk panitia di Monas, pengerjaan layout BTS di kantor EO, semua kita lakukan bersama-sama. Hingga akhirnya BTS selesai, para murid merasa puas, terlebih deretan panitia yang telah bekerja keras, semua terbayar impas. Yang lebih menyenangkan lagi, semua murid kelas XII di sekolah gue 100% lulus. Yang menyedihkan, selain gue harus berpisah dengan teman-teman gue, ketika saat pengumuman kelulusan diumumkan, gue enggak dapat turut serta merayakannya. Waktu pengumuman kelulusan, gue berada di rumah, di kamar gue, terbaring lemas karena sakit cacar (sumpah ini enggak penting). Gue enggak bisa ikutan coret-coretan bareng teman-teman gue seangkatan.
            Ketika gue sudah sembuh dari cacar, gue masuk kembali ke sekolah untuk urusan ijazah dan sebagainya. Gue bawa BTS gue. Niatnya gue mau minta teman-teman gue buat menandatanganinya karena memang dalam BTS itu terdapat halaman kosong yang dikhususkan untuk ditandatangani dari teman-teman. Tidak ketinggalan, gue juga minta tanda tangan dari Amanda. Dia menandatangani sambil tersenyum dan menuliskan sebuah kalimat pesan singkat di bawah tanda tangannya. Bertuliskan, “Manda =) Ayam jangan males lagi !! inget janjinya =)”. Gue memang masih punya janji yang belum gue tepati hingga gue selesai menuliskan cerita ini. Gue punya janji buat naik sepeda main ke rumahnya. Tapi belom terealisasikan hingga kini. Hingga kita lulus. Meninggalkan banyak cerita di dalamnya.

***

            Selesai lulus SMA, gue dan dia sama-sama melanjutkan kuliah. Gue kuliah komunikasi di Universitas Budi Luhur. Dia kuliah sastra Inggris di Universitas Indonesia. Tetapi kita masih tetap saling mengontak untuk sekedar menanyakan kabar. Hingga pada suatu saat, kita memutuskan untuk bertemu. Gue mau main ke UI sembari ketemu dia. Jadilah pagi-pagi sekali gue bertemu dia di Stasiun Juanda. Menggunakan KRL, kita berangkat ke UI. Sekali lagi gue menghabiskan waktu seharian penuh bersama dia. Gue menunggu dia selesai kelas di sebuah kantin. Ketika dia keluar kelas, gue dan dia langsung memesan makanan untuk menu makan siang kita. Gue memesan ayam keremes dan dia memesan soto ayam. Usai makan, kita mengobrol banyak hal. Saling bertukar cerita mengenai apa saja yang kita masing-masing lakukan selepas SMA. Sekaligus beberapa kali menyinggung cerita-cerita masa lalu.
            Kemudian kami sholat dzuhur di salah satu mushola. Kebetulan pada malam hari itu, gue mempunyai janji buat main futsal bersama teman-teman kuliah gue melawan teman gue dari kampus tetangga. Jadilah selesai sholat gue beserta dia berangkat menuju kampus gue menggunakan kopaja. Sampai ketika malam memanggil, gue bermain futsal dengan dia sebagai suporter. Tim gue menang. Gue semakin merasa menang ketika tim yang gue lawan tersebut terdapat seseorang yang juga merupakan teman gue sekaligu seseorang yang menjadi pengganti Amanda ketika di SMA dulu. Tetapi tidak pernah ada kekerasan di antara kita. Soalnya gue memang penakut.

***

            Itu mungkin menjadi kenang-kenangan terakhir yang pernah terjadi antara gue dengan Amanda. Setelah kejadian itu, kita sibuk dengan hidup masing-masing. Sebenarnya masih banyak lagi cerita antara gue dengan Amanda yang belum gue ceritakan. Seperti ada suatu kejadian horror yang terjadi saat gue bertandang ke rumahnya sama temen-temen gue yang lain. Yaitu tutup botol yang tiba-tiba terbang sendiri pada waktu kita sedang cerita serem di saat maghrib. Gue juga pernah nonton pertandingan Persija di rumahnya dengan heboh. Gue juga ingat pernah ke kondangan salah satu kakak temen gue bareng dia. Gue juga ingat di saat kita sering nongkrong bareng di rumah Lila, Riska. Gue juga ingat dia pernah pinjam novel Lupus gue yang kemudian terselip sebuah surat kecil pada saat dikembalikan ke gue. Gue juga ingat kalau dia sering curhat sama kakak gue. Gue juga ingat saat nganterin dia menunggu angkutan umum jurusan ke rumahnya. Gue juga ingat gue selalu bercandain dia dengan sebutan ‘kocak’. Gue selalu ingat untuk ingin terus menyentuh pipinya yang bulat (yang sekarang menjadi sangat tembem).
            Hingga akhirnya sekarang gue ketahui bahwa dia sudah punya pacar baru yang masih terus bersama-sama hingga kini. Gue sendiri berusaha berulang kali untuk dekat dengan cewek lain tapi selalu gagal. Selalu ada hal yang gue tidak suka. Tapi lebih banyak ceweknya sih yang tidak suka.
            Kini dia sudah bahagia bersama pacar barunya. Mungkin dia telah menemuka benang yang tepat untuk dia rajut menjadi sebuah baju yang sempurna. Sementara gue masih belum menemukan benang yang tepat untuk gue rajut demi sekedar baju dalam yang sederhana. Tetapi setidaknya, gue pernah punya seutas benang terbaik, yang pernah gue rajut untuk seragam SMA gue.


Congratulations Amanda !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berita Kehilangan

Avingga is Too Cool

Galau Turunan