Galau Turunan

“Wah! Anaknya cantik ya! Pasti turunan mamanya.”
“Waduh! Anaknya bandel! Pasti turunan bapaknya.”
                Laki-laki memang sering dijadikan pelampiasan yang jelek-jelek.  Padahal kan gak semua laki-laki bandel. Perempuan juga bisa bandel. Begitu juga sebaliknya. Laki-laki juga bisa cantik.
Anakmu memang mencerminkan siapa kamu. Kalo kamu bule, anakmu juga biasanya bule. Begitu juga sebaliknya. Kalo kamu bukan bule, anakmu biasanya juga bukan bule.
Gue sendiri bukan termasuk yang bandel atau yang cantik. Dan juga bukan bule. Gue cuman remaja tanggung yang penuh dengan kesenduan cinta. Gue termasuk makhluk cemen yang sering baperan parah. Dikit-dikit galau. Dikit-dikit merenung. Tapi justru kegalauan gue itu yang bisa mengawali kesukaan gue terhadap dunia tulis menulis.
Sesuatu yang berhubungan dengan hati memang gak baik buat dipendam sendiri.
Lama kelamaan akhirnya gue mengerti mengapa gue sering galau. Gue akhirnya tau penyebab kesenduan gue dalam mengarungi kejamnya kehidupan nyata.
Yaitu karena nyokap gue.

***

Gue ini termasuk pengguna angkutan umum sejati. Kendaraan pribadi yang ada di rumah gue cuman sepeda fixie warna ungu hadiah ulang tahun dan satu sepeda motor milik kakak ipar gue yang gak ketauan type apa karena full ketutupan stiker.
                Suatu ketika gue dan keluarga hendak turun ke kota. Hehehe
Enggak.
Gue dan sekeluarga hendak pergi ke Depok. Mengunjungi rumah bude gue yang paling tua. Kita memutuskan untuk naik Uber. Tiap naik Uber atau GrabCar, gue rajin untuk membawa CD band-band kesukaan gue. Tapi berhubung lagu-lagu yang gue suka terdengar asing di telinga keluarga gue, akhirnya gue bawa sebuah CD yang sekeluarga gue udah pasti suka. Cd The Beatles. Gue bawa yang Greatest Hits. Yang lagunya banyak.
Jalanan Jakarta sedang bersahabat. Gak macet kampret kaya biasanya. Gue menikmati perjalanan sambil melihat mobil dan kendaraan lain yang saling mengadu kecepatan. Sementara mobil mulai memasuki Lenteng Agung, lagu di radio mobil menunjukkan track 19. Lagu Get Back diputar.
Baru dua detik intro dimulai, gue udah asik mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama lagu. Begitu masuk bait pertama, gue dikagetkan oleh nyokap gue yang tiba-tiba nyeletuk.
“Ini Get Back ya ?
“Iya mi.” jawab gue singkat.
“Mami jadi inget….  Waktu itu….” Nyokap menggantungkan kata-katanya.
Gue siap mendengar cerita nyokap. Hanya karena nyokap janji mau membayar biaya Uber.
“Mami inget banget. Waktu itu tahun 99. Pas kita masih di Jayapura. Waktu papimu dinas di Jakarta. Hari Selasa. Ada acara ulang tahun TVRI di tv. Terus ada Tina Turner bawain lagu Get Back-nya Beatles. Mami langsung inget papi. Terus mami akhirnya telpon-telponan sama papi. Kita ngobrol banyaakkkkk sampai pagi.” Nyokap gue cerita panjang lebar.
Gue ngedengerin dengan seksama. Begitu juga kakak gue dan sang driver uber. For Your Info, akhir tahun 90-an bokap gue dinas ke Jayapura. Sehingga kita sekeluarga ikut pindah ke sana. Bahkan gue sempet TK dan SD sampai kelas 1 di Jayapura. Dan pada suatu kesempatan bokap gue sedang ada panggilan dari kantor pusat di Jakarta.
“Eh, pas hari Minggunya, Papi meninggal….” Lanjut nyokap yang diiringi keheningan sejenak dalam mobil.
Gue kembali mengarahkan padangan ke jendela. Kebetulan gue duduk di depan dan nyokap gue di belakang sama kakak gue. Sehingga gak ada yang tau kalo gue diam-diam ikutan sendu. Tapi gak sampai nangis. Cuman heran aja. Kenapa secepat itu bokap pergi meninggalkan kita semua. Gue saat itu masih 6 tahun. Masih cemen. Masih belom bisa baca. Masih dicebokin. Kakak gue yang pertama baru kelas 1 SMA. Sedang ABG-ABGnya. Kakak gue yang kedua baru kelas 6 SD. Sedang suka-sukanya jajan. Tapi kenapa bokap bisa pergi pada saat gue belom bisa cebok sendiri ? yang ada justru akan sangat merepotkan nyokap gue. Belum lagi tanggung jawab untuk mengurus kedua kakak gue.
Takdir adalah jawabannya.
Dan mengapa dengan kesendirian nyokap, gue dan kedua kakak gue bisa sekolah tinggi hingga sarjana S1 ?
Kehebatan nyokap adalah jawabannya.

***

Mulai memasuki kawasan Depok, saat itu juga lagu Get Back berakhir. Meski lagu telah selesai, tapi kesenduan yang terjadi belum selesai. Gue gak habis pikir, bagaimana nyokap gue bisa setegar itu waktu mendengar kabar bokap udah gak ada.
Yang gue sesalkan, saat gue udah sampai Jakarta dan melihat jenazah bokap gue di depan mata, gue justru takut. Gue malah mikir yang horror-horror (Sejak kecil gue emang udah parnoan). Gue sempet kepikir kalo bokap seperti vampire-vampire di film laga Sabtu siang.
Sikap gue salah besar. Harusnya gue memeluk bokap gue. Mengerti kalau itu merupakan sebuah pelukan perpisahan. Pelukan terakhir. Pelukan yang tiada pernah terjadi lagi. Mengerti kalau bokap, gak akan pernah bisa gue temui lagi.

***

Beberapa lagu Beatles lainnya sedang diputar, tapi pikiran gue sedang melayang jauh ke luar sana. Dengan perlahan, gue mengintip kondisi nyokap gue di kursi belakang.
Nyokap tidur.
Tapi gue gatau apakah tidur beneran atau gak. Bisa aja nyokap sekedar memejamkan matanya, demi kembali mengenang masa-masa itu. Masa-masa masih ada bokap. Masa-masa indah bersama bokap. Masa-masa tak terlupakan bersama bokap. Masa-masa yang hanya masa lalu.
Gue dapat menebak begitu, karena gue sendiri pun suka seperti itu. Memejamkan mata untuk merenung. Atau istilah lainnya, “khyusuk dalam galau”.
Gue ternyata menuruni bakat nyokap dalam menyikapi kegalauan.
Yaitu direnungi.
Dicari apa yang salah dari diri.
Dan mencari solusi.
Meskipun pada akhirnya gue gak pernah mendapatkan solusi yang tepat selain melupakan. Tapi terkadang kita butuh cerita sedih, untuk mengetahui seberapa besar dewasa kita. Gue tau dari beberapa teman dekat gue yang belom mengakui kalo gue sudah dewasa. Karena gue secara terus menerus mendapatkan cerita sedih dan selalu bingung bagaimana cara mengahadapinya.
Gue lemah kalo soal cinta.

***

Mendekati rumah sodara gue, kali ini giiran lagu Let it Be diputar. Nyokap gue juga sudah terbangun dari tidurnya dan sedang asyik makan cemilan yang sengaja kita bawa dari rumah.
Hal lain yang bisa gue petik dari nyokap gue, adalah rasa kesetiaan yang sangat besar.
                Gak pernah terpikirkan dalam benak nyokap gue untuk mencari sosok baru. Sosok yang akan gue panggil Papi nantinya. Padahal, kalau dilihat dari kondisi keluarga saat itu, akan sangat dimaklumi apabila nyokap berkehendak untuk mencari sosok baru. Tapi nyokap gak punya pemikiran seperti itu. Nyokap tetap setia sama almarhum bokap. Nyokap masih menjaga cintanya untuk bokap sampai lo baca tulisan ini. Nyokap, mengajarkan gue arti move on sebenarnya.
                Move on, bukan berarti dengan mencari dan mendapat orang baru. Tapi move on, adalah berusaha mengikhlaskan kejadian yang sudah lalu.
                Karena sesungguhnya kita bukan diajarkan untuk melupakan.
                Tapi mengikhlaskan.
                Seperti lagu Let it Be.

                There will be an answer
                Let it be, let it be….

                Toh, Tuhan janji akan menggantikan dengan yang lebih baik.

Meski tak seindah yang lama.

Komentar

  1. "Sesuatu yang berhubungan dengan hati memang gak baik buat dipendam sendiri" -avingga hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. tuh stell ! makanya kalo punya cerita galau, diceritain aja hahaha

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berita Kehilangan

Avingga is Too Cool